Sabtu, 22 Oktober 2016

MAKALAH STUDI KEISLAMAN

Studi Kepemimpinan Umat Islam Pasca Rasulullah saw wafat


Assalamualaikum redears. Ini adalah postingan pertama saya. Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan. Semoga postingan ini bernanfaat. Isi Makalah ini saya himpun dari berbagai sumber, termasuk blog-blog lainnya yang lupa saya masukkan ke dalam daftar pustaka. Mohon maaf bagi pemilik blog tersebut ^_^
Pendahuluan
      Dalam catatan sejarah islam persoalan pertama yang muncul kepermukaan setelah Nabi Muhammad saw wafat adalah persoalan suksesi. Siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak Rasulullah saw menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah, tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi penggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Untuk menyelesaikan kebingungan umat islam digunakanlah prinsip musyawarah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Pada masa khulafaurrasyidin ada dua kelompok yang merasa paling berhak untuk dicalonkan sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW yaitu, kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Terdapat perbedaan pendapat antara kaum  Muhajirin dan Anshar, karena kaum Muhajirin mengusulkan Abu Bakar as Shidiq, sedangkan kaum Anshar mengusulkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. Perbedaan pendapat antara dua kelompok tersebut akhirnya dapat diselesaikan secara damai setelah Umar bin Khattab mengemukakan pendapatnya. Selanjutnya, Umar menegaskan bahwa yang paling berhak memegang pimpinan sepeninggal Rasulullah adalah orang-orang Quraisy. Alasan tersebutpun dapat diterima oleh kedua belah pihak.[1]
            Setelah berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terakhir pada masa khulafaurrasyidin, mengakibatkan lahirnya kekuasaan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
            Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan feudal dan turun menurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaurrasyidin.
   
            Setelah pemerintahan khulafaurrasyidin berakhir, maka Bani Umayyah muncul yang dibentuk oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Bani umayyah diakui secara resmi melanjutkan khilafah  islam setelah berakhirnya sengketa antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai lambang penguasa Daulah Umayyah.[1] Dalam system pemerintahan, Bani Umayyah telah mengubah system suksesi kepemimpinan dengan jalan musyawarah menjadi monarki atau system kerajaan yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muawiyah mengangkat anaknya sendiri Yazid, sehingga pada umumnya sejarawan memandang negative terhadap Muawiyah karena pada awal keberhasilan memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang di Shiffin dicapai melalui abitrase.[2]
            Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, berdinya dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya.[3]
Berdasakan dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas sejarah Kepemimpinan Umat Islam Pasca Rasulullah saw wafat.


 Pembahasan
I.            Masa Khulafaur Rasyidin
A.  Khalifah Abu Bakar
1.  Proses Pengangkatan
Setelah Nabi wafat, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Kaum Anshar  mencalonkan Sa’ad ibn Ubadah. Sedangkan kaum Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang paling layak untuk menggantikan Nabi. Di pihak lain terdapat kelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib. Situasi yang kritis ini, pedang hamper saja terhunus dari sarungnya. Masing-masing golongan berhak menjadi penerus Nabi. Namun berkat tindakan tegas Umar, Abu Bakar dan Abu Ubaidah ibnu Jarrah memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi Muhammad, masing-masing pihak dapat menerima dan membaiatnya.[1]
2.   Pemerintahan
Abu Bakar memimpin umat islam dengan prinsip demokrasi. Demokrasi merupakan system pemerintahan yang mengakui hak setiap anggota masyarakatnya. Selain itu, Abu Bakar juga memerintah dengan tegas dan keras kepada orang-orang murtad dan menyekutukan Allah serta Rasul-Nya.
Kekuasaan yang dijalankan pada masa khalifah Abu Bakar bersifat sentral; yaitu kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif terpusat di tangan khalifah.[2] Selain menjalankan pemerintahan, khalifah juga menjalankan hokum. Meskipun demikian, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Adapun urusan pemerintahan diluar kota madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hokum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi. Ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam gubernur).
Pada masa Abu Bakar telah terjadi gerakan pemurtadan agama atau yang disebut riddah. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan negara, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan memerangi kaum yang murtad ini. Perang ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Walid adalah salah seorang jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Gerakan riddah ini sudah menampakkan benihnya ketika tersiar kabar bahwa Nabi Muhammad sedang sakit dan muncul ke permukaan dengan jelas setelah Nabi wafat. Gerakan riddah ini muncul bersamaan dengan kemunculan tiga tokoh yang mendakwakan dirinya sebagai nabi (nabi palsu). Tiga tokoh yang dikenal sebagai nabi palsu itu adalah Musailamah al-Kadzdzab (w. 633 M), Thulaihah bin Khuwailid (w. 632 M), dan Aswad al-Insa (w. 632 M).[3]
3.  Usaha-usaha yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shidiq
a.    Merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksanakan yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Syiria di bawah pimpinan Usamah.[4]
b.    Menumpas orang-orang yang merongrong agama dan negara Islam. Yaitu, mereka orang-orang yang mengaku sebagai nabi, orang-orang yang menolak membayar zakat, dan para pembangkang yang hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
c.    Merebut dan menguasai wilayah-wilayah baru sehingga wilayah kekuasaan Islam menjadi semakin luas. Wilayah yang dapat dikuasai meliputi Irak, Persia, Syiria (Suriah), dan Yarmuk.
d.    Memperkenalkan administrasi pemerintahan berdasarkan kewilayahan. Ia membagi wilayah kekuasaan Islam  dalam beberapa  wilayah provinsi. Dalam setiap provinsi ia mengangkat wali (gubernur) sebagai kepala wilayah. Ia memberikan tugas kepada para gubernur mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya dan juga sebagai hakim dan imam shalat.
e.    Menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dilakukan setelah banyaknya para penghapal Al-Qur’an yang meninggal akibat perang.
f.     Mendirikan baitul mal. Yaitu, semacam lembaga kas negara yang berfungsi menghimpun dana dari orang-orang mampu untuk disalurkan kepada fakir miskin.
g.    Perang Riddah (perang melawan kemurtadan)[5]
4.  Akhir Pemerintahan
Abu Bakar As-Shidiq menjalankan tugasnya sebagi khalifah selama 2 tahun, 3 bulan, dan 10 hari. Beliau wafat pada tanggal 21 Jumadil Akhir tahun 13 H setelah menderita sakit selama 16 hari. Beliau berusia 63 tahun. Jenazah Abu Bakar dimakamkan di sebelah makam Rasulullah saw.[6]
B.  Khalifah Umar bin Khattab
1.  Proses Pengangkatan
Ketika khalifah Abu Bakar sedang sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, beliau secara diam-diam melakukan tinjauan pendapat terhadap tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya. Dalam musyawarah itu, disepakati bahwa orang yang layak menggantikan kedudukan beliau sebagai khalifah adalah Umar bin Khattab. Hasil musyawarah tersebut kemudian disampaikan kepada umat Islam, mereka serentak menjawab,“ Sami’ na wa ata’ na”, artinya kami dengar dan kami patuhi. Umar bin Khattab mulai menjadi khalifah pada hari Selasa tanggal 22 jumad as-Sani 13 H. [7]
2.  Pemerintahan
Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab berlangsung selama sepuluh tahun enam bulan, yaitu dari tahun 13 H/634 M – 23 H/644 M).[8] Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, gelombang perluasan daerah kekuasaan Islam untuk pertama kalinya dilakukan.
Dari sekian banyak penaklukan pada masa Umar bin Khaththab, penaklukan atas kota Jerussalem adalah yang paling menarik. Penaklukan kota yang dipandang suci ini tidak dilakukan dengan menumpahkan darah. Uskup Agung kota Jerussalem lebih suka menyerahkan kota itu dengan cara damai untuk menghindarkan akibat-akibat perang setelah beberapa lama dikepung oleh pasukan kaum Muslimin. Uskup Agung akan menyerahkan kota Jerussalem dengan syarat diadakan gencatan senjata dan kota suci ini hanya akan diserahkan kepada penguasa tertinggi, yaitu Khalifah Umar bin Khaththab.[9]
3.   Usaha-usaha yang dilakukan Umar bin Khattab
a.    Memperbaiki kinerja baitul mal
b.    Menetapkan kalender Islam
c.    Mengeluarkan ijtihad agar shalat tarawih dilakukan secara berjamaah
d.    Membagi wilayah Islam yang luas menjadi tujuh provinsi, yaitu Mekkah, Madinah, Suriah, Jazirah, Basrah, Kufah, dan Palestina. Setiap provinsi dikepalai seorang gubernur. Semua gubernur bertanggung jawab terhadap khalifah.
e.    Membangun masjid-masjid besar, diantaranya Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah, Masjid al-Aqsa di Palestina, dan Masjid Amru bin As di Mesir.
f.     Menambahkan kalimat as-salatu khairun minan-naum (shalat lebih baik daripada tidur) dalam azan Subuh.[10]
4.  Akhir Pemerintahan
Umar memerintah selama sepuluh tahun. Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Umar dibunuh oleh seorang budak Persia yang bernama Abu Lu’luah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh cara yang dilakukan Abu Bakar. Ia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin Auf.[11]
C. Khalifah Utsman bin Affan
1.  Proses Pengangkatan
Usman bin Affan menggantikan posisi Umar bin Khaththab sebagai khalifah ketiga setelah sebelumnya dilakukan musyawarah oleh dewan syura yang terdiri dari enam orang sahabat yang ditunjuk oleh Umar. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin Auf. Dikatakan bahwa ketika musyawarah itu berlangsung, Abdurrahman bin Auf mengajukan saran yang berbunyi: “Siapa di antara kita yang rela mengundurkan diri dari pencalonan?. Dia sendiri menyatakan pengunduran dirinya. Sikapnya itu diikuti oleh tiga orang lainya, yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqas. Dengan demikian tinggal ada dua calon saja untuk posisi khalifah, yaitu Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah mencatat bahwa tiga tokoh lainnya beserta kedua calon itu sama-sama rela menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk menetapkan pilihan terakhir dan memberinya kesempatan untuk mempertimbangkan sebaik-baiknya. Abdurrahman bin Auf kemudian melakukan kontak pribadi dengan para tokoh Madinah. Setelah melakukan kontak pribadi dengan banyak tokoh, akhirnya pilihannya jatuh kepada Usman bin Affan. Keputusan itu menuai kritik dari pihak Ali, karena Abdurrahman bin Auf adalah ipar dari Ustman bin Affan. Keduanya sama-sama dari keluarga Umayyah, sedangkan Ali bin Abi Thalib dari keluarga Hasyim. Tetapi Abdurrahman berdalih bahwa keputusannya berdasarkan suara terbanyak dari penduduk Madinah dan bukan karena yang lain. Ali bin Abi Thalib akhirnya ikut melakukan bai’at terhadap Khalifah Usman bin Affan.[12]
2.  Pemerintahan
Utsman bin Affan dikenal sebagai pemimpin yang dermawan. Ia sering memerdekakan budak yang teraniaya dari orang kafir Quraisy. Utsman pun sering memberikan hartanya bagi fakir miskin.
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung selama dua belas tahun.. Pada masa awal kekuasaannya, pemerintahannya berjalan lancar, tak ada kekhawatiran yang mengancamnya. Pada paruh terakhir atau enam tahun kedua dari masa kekhalifahannya mulai muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadap dirinya.[13]
Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan pendahulunya. Khalifah Umar bin Khaththab lebih memperlihatkan kehidupan yang sederhana. Tetapi pada masa Khalifah Usman bin Affan, kehidupan yang beraroma kemewahan dan kesenangan lebih nampak. Ini mungkin disebabkan karena faktor kehidupan Usman yang sejak awal memang termasuk orang kaya. Usman pernah berkata: “Saya sungguh tidak makan dari harta kaum Muslimin, saya makan dari harta saya sendiri. Anda tahu, di kalangan Quraisy sayalah yang terkaya dan yang paling beruntung dalam perdagangan”. Salah satu faktor yang menyebabkan kekecewaan sebagian umat Islam pada paruh kedua dari kepemimpinannya adalah kebijaksanaannya yang bercorak nepotisme.[14]
Kekecewaan terhadap pemerintahan Usman bin Affan memuncak dengan adanya gelombang protes dari beberapa wilayah yang menuju Madinah. Gelombang protes yang datang dari Mesir berjumlah 500 orang, dipimpin oleh al-Ghafiqi bin Harrab al-Akiki. Tujuan mereka adalah untuk meminta khalifah meletakkan jabatan. Gerakan yang sama datang dari Kufah, dengan jumlah 500 orang, di bawah pimpinan Abdullah bin Asham al-Amiri. Pada saat yang sama berangkat pula rombongan dari Basrah, berjumlah 500 orang, di bawah pimpinan Hurkush bin Zuhair al-Saadi.[15]
3.  Usaha-usaha yang dilakukan Utsman bin Affan
a.    Memperluas dan memperindah Masjidil Haram (Mekah) dan masjid Nabawi (Madinah).
b.    Membangun gedung-gedung pengadilan untuk mengadili perkara-perkara pidana dan perdata yang pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dilakukan di masjid-masjid.
c.    Membentuk angkatan laut yang tangguh untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam.
d.    Melakukan pembukuan mushaf Al-Qur’an dalam satu buku. Zaid bin Sabit yang sejak zaman Abu Bakar telah diserahi tugas mengumpulkan ayat dan surat Al-Qur’an yang tercecer lalu diberi tugas khusus untuk menyusunnya menjadi satu buku dengan sistematika sebagaimana arahan Rasulullah. Utsman lalu menyalin mushaf tersebut ke dalam lima jilid. Utsman mengirim kelima jilid mushaf itu masing-masing ke Mekah, Suriah, Basra, Kufah, dan Madinah. [16]
4.  Akhir Pemerintahan
Pada masa menjelang akhir pemerintahan, penasihat Khalifah Utsman yang bernama Marwan bersikap licik dengan menghasut umat Islam. Dengan demikian, timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Huzaifah dengan 600 orang pengikut dari mesir.
Pemberontakan itu terjadi dengan maksud agar Gubernur Mesir digantikan oleh Muhammad bin Abu Bakar. Hal itu disetujui oleh khalifah. Marwan kemudian membuat surat dengan stempel resmi yang meminta Abdullah agar membunuh Muhammad dan anak buahnya.
Surat tersebut jatuh ke tangan pemberontak dan mereka menghadap khalifah meminta agar Marwan diserahkan. Permintaaan itu tidak disetujui oleh khalifah. Dengan diam-diam khalifah meminta bantuan Muawiyah (Gubernur Irak) untuk menumpas para pemberontak. Namun, hal itu diketahui oleh parah pemberontak. Pemberontak marah kepada khalifah. Akhirnya, khalifah Utsman yang sudah tua dikepung oleh kaum pemberontak. Pengepungan dimulai dari bulan Ramadan hingga bulan Zulhijjah, kurang lebih 40 hari. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat beliau sedang membaca Al-Qur’an. Utsman wafat pada tahun 35 H saat usia beliau 81 tahun.[17]
D. Khalifah Ali bin Abi Thalib
1.  Proses Pengangkatan
Setelah khalifah Utsman terbunuh di tangan kaum pemberontak, masyarakat muslim pada saat itu berpendapat bahwa yang paling pantas menduduki kursi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Pendapat itu didukung oleh masyarakat banyak, walaupun ada dari sebagian kecil yang menentangnya, terutama keluarga Umayyah yang ingin menuntut balas atas kematian Utsman.
Berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya, Ali diminta menduduki kursi khalifah oleh rakyat banyak dan dipelopori oleh kaum yang memberontak Utsman. Atas desakan masyarakat banyak, Ali bersedia diangkat menjadi khalifah keempat.[18]
2.  Pemerintahan
Saat diangkat menjadi khalifah menggantikan Utsman, Ali membuat beberapa kebijakan yang kontroversi. Misalnya, ia memecat pejabat yang diangkat oleh Utsman, mengambil kembali tanah yang diberikan Utsman kepada kerabat-kerabatnya, meninggalkan kota Madinah, dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan.
Ali bin Abi Thalib juga sering bertugas sebagai hakim (qadi) atau mufti yang tegas. Tugas ini ia kerjakan jauh sebelum ia menjadi khalifah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan Ali selalu dihargai oleh kaum muslimin. Dalam kehidupan sehari-harinya, Ali selalu membiasakan hidup sederhana meskipun ia seorang khalifah.[19]
3.  Usaha-usaha yang dilakukan Ali bin Abi Thalib
a.    Mengirim Abul Aswad Ad-Dauly untuk mengajarkan bahasa Arab.
b.    Membangun kota Kufah yang merupakan pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
c.    Berhasil mengembangkan wilayah Islam sampai ke Jazirah Arab
d.    Agar pemerintahan efektif dan efisian dengan mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja
e.    Menyita harta para pejabat yang diperoleh secara tidak benar, yang kemudian disimpan di baitul mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat
f.     Mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu agar dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadis
g.    Memberi kaum muslimin tunjangan dari baitul mal secara adil
h.    Mengatur system pemerintahan dengan menekankan kepentingan umat
i.      Menekankan persamaan hak antarsesama umat.[20]
4.  Akhir Pemerintahan
Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, muncul kaum Khawarij. Mereka mengadakan musyawarah untuk memberontak terhadap pemerintahan Ali. Golongan itu pula yang berusaha membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Menurut golongan Khawarij, ketiga orang itulah yang membuat Islam tidak tenteram.
Akhirnya, pada tanggal 19 Ramadan tahun 40 H, Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam ketika hendak melakukan shalat Subuh di masjid Kufah. Sedangkan Muawiyah gagal dibunuh oleh Al-Barak dan Amr bin Ash gagal dibunuh oleh Umar bin Bakir.  Ali memerintah kurang lebih selama 5 tahun.[21]

Seperti yang kita lihat dari beberapa periode pemerintahan masa Khulafaurrasyidin tersebut, ada beberapa hal yang dicapai Islam antara lain:
(1)  Ekspansi atau perluasan wilayah yang meliputi Irak, Suriah, Damaskus, Bizantium, Mesir, Persia, dan Palestina.
(2)  Meredam berbagai pemberontakan dari orang-orang murtad.
(3)  Pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an.
(4)  Penentuan kalender Islam
(5)  Penetapan administrasi dalam pemerintahan


I.            Masa Bani Umayyah
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kekhalifahan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Bani Umayyah berkuasa dalam dua periode, yaitu di Suriah (661-750) dan di Spanyol (756-1031).[1]
Berdirinya kekhalifahan Umayyah juga mengubah system pemerintahan dalam islam. Yang tadinya bersifat demokratis menjadi system pemerintahan yang bersifat monarki. Jika ditinjau dari segi sejarah, Bani Umayyah merupakan salah satu suku Quraisy yang pada awalnya menentang kedatangan Islam.
Pusat kekuasaan Bani Umayyah pada awal berdirinya adalah di Suriah dengan ibukota Damaskus. Pendirian pusat kekuasaan di Suriah dilatarbelakangi saat Yazid bin Abu Sufyan dan Muawiyah diangkat oleh Khalifah Ustman bin Affan menjadi gubernur di Suriah.
Para khalifah besar dari dinasti bani Umayyah adalah Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik Ibn Marwan (685-705 M), al-Walid Ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar Ibn al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam Ibn Abd al-Malik (724-743).[2]
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. [3]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al- Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan ini adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa.
Selain wilayah kekuasaan yang sangat luas, di masa Dinasti Umayyah ini kebudayaan juga mengalami perkembangan, antara lain seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dll. Dalam bidang ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama saja, tetapi ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, filsafat, astronomi, geografi, sejarah, bahasa dan lainnya. [4]
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tentu yang menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Spesialisasi jabatan Qadhi atau hakim yang berkembang menjadi profesi tersendiri.
Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang Byzantium dan Persia dengan mencetak uang tersendiri yang memakai kata-kata dan tulisan Arab, kemudian melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagi bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik banyak membangun panti-panti untuk orang cacat, jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid megah.[5]
Keruntuhan dinasti Umayyah dimulai dengan diperkenalkannya kekuasaan yang bersifat monarki oleh Muawiyah. Dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Kemudian, Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin  Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat. Kemudian sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah tidak hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Bani Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad khalifah terakhir Bani Umayyah melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh disana.[6]
Dari beberapa periode jabatan pada masa Bani Umayyah ada beberapa hal yang telah mengalami kemajuan, antara lain:
(1)  Ekspansi atau perluasan wilayah kembali dilakukan hingga ke benua Eropa.
(2)  Kemajuan dalam bidang administrasi dan bahasa.
(3)  Kemajuan dalam bidang ilmu agama islam.
(4)  Kemajuan dalam bidang administrasi keuangan.
(5)  Kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam.

II.         Masa Bani Abbasiyah
Kekuasaan Bani Abbasiyah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang mulai dari tahun 132 H sampai 656 H (750 M- 1258 M) dengan dibagi menjadi 5 periode.[7]
Pada periode  pemerintahan dibawah Abu al-Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Masa pemerintahan Abu Al- Abbas hanya sebentar yaitu dari tahun 132 H- 136 H.[8]
Selanjutnya pemerintahan digantikan oleh Abu Ja’far al-Mansyur yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah. Pada mulanya ibukota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibukota negara ke kota Baghdad yang berdekatan dengan bekas ibukota Persia, Ctesiphon. Dengan demikian maka pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Konsep khilafah menurut pandangannya yang kemudian berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandate dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi. [9]
Selanjutnya pada masa al-Mahdi. Pada masa ini perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sector pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti, emas, tembaga, dan besi. [10]
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Harun Ar-Rasyid Rahimahullah dan puteranya al-Ma’mun. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Selanjutnya Al-Ma’mun, sebagai pengganti dari Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing dilakukan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa ini juga, Baghdad pun mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya pemerintahan Al-Mu’tasim. Pada masa ini praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan begitu, kekuatan militer pun menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, namun semuanya dapat dipadamkan. [11]
Setelah berkembang hamper tiga abad, akhirnya Bani Abbasiyah mengalami kehancuran. Puncak kehancuran Bani Abbasiyah adalah akibat serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun 1258. Tentera tersebut menghancurkan Baghdad dan tidak menyisakan sedikit pun dari pengetahuan yang tersimpan di baitul hikmah. Kehancuran Bani Abbasiyah, juga disebabkan karena turunnya kewibawaan para khalifah akibat luasnya wilayah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi berjalan lambat. Kehancuran tersebut juga disebabkan kemunduran perekonomian akibat kemunduran politik sehingga terjadi juga Perang Salib yang menyebabkan kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat tinggi, serta munculnya pemberontakan-pemberontakan yang tidak dapat diredam. [12]

Dari beberapa hal yang dapat kita lihat bahwasannya terdapat beberapa kemajuan dalam berbagai bidang juga pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu diantanya :
(1)  Kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan
(2)  Kemajuan dalam bidang ekonomi
(3)  Kemajuan dalam bidang kesehatan
(4)  Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
(5)  Kemajuan dalam bidang pendidikan
(6)  Kemajuan dalam bidang peradaban dan kebudayaan

Penutup
Kesimpulan
Masa setelah nabi Muhammad saw diantaranya, Khulafaurrasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah. 4 khalifah pada masa Khulafaurrasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Setiap masa Islam terus mengalami kemajuan dalam bidang-bidang tertentu.  Ekspansi wilayah terus terjadi di setiap masa pemerintahan, baik masa Khalifah, Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah. Kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, kesehatan, kesusastraan, perekonomian, dan pendidikan terus berkembang dan mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah.

Daftar Pustaka
Yatim, Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Fatah. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.
Ibrahim, Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang.
Karim, Irfan Haq Dzul. 2010. Daulah Bani Abbasiyah. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Ali, Maulana Muhammad. 2007. Early Caliphat. Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah.
Syuhada, Harjan, Abi Achmadi, Sunarso. 2010. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah. Jakarta : Bumi Aksara.
Marzuki. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah.
Hasymy, A. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Sunanto, Musyrifah. 2010. Sejarah Islam Klasik. Jakarta : Prenada Media.
Souyb, Jousouf. 1977. Sejarah Umayyah. Jakarta : Bulan Bintang.


[1]               A. Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) hlm. 145   
[2]               Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik. (Jakarta : Prenada Media, 2010) hlm. 44
[3]               A. Hasymy, Op.Cit., hlm 147
[4]               Musyrifah Sunanto,Op.Cit., hlm. 50
[5]               Jousouf Souyb. Sejarah Umayyah (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) hlm. 36
[6]               Jousouf Souyb,Op.Cit., hlm. 171
[7]               Samsul Munir Amin,Op.Cit., hlm. 200
[8]               Ibid., hlm. 205
[9]               Ibid., hlm. 209
[10]             ibid., hlm. 216

[11]             Ibid., hlm. 220-245
[12]             Harjan Syuhada, Abu Achmadi, Sunarso, Op.Cit., hlm. 53


[1]               Maulana Muhammad Ali. Early Caliphat. (Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007) hlm. 12-13.
[2]               Harjan Syuhada, Abu Achmadi, Sunarso. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah. (Jakarta : Bumi Aksara, 2010) hlm. 35-36.
[3]               Marzuki. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2009) hlm. 133
[4]               Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta : Amzah, 2010) hlm. 98
[5]               Harjan Syuhada, Abu Achmadi, Sunarso, Loc.Cit.
[6]               Ibid.,hlm. 37
[7]               Ibid.,
[8]               Marzuki, Op.Cit., hlm. 135
[9]               Ibid., hlm. 136
[10]             Harjan Syuhada, Abu Achmadi, Sunarso, Op.Cit., hlm. 38
[11]             Ibid., hlm. 39
[12]             Marzuki, Op.Cit., hlm. 138
[13]             Ibid., hlm. 139
[14]             Harjan Syuhada, Abu Achmadi, Sunarso, Op.Cit., hlm. 40
[15]             Maulana Muhammad Ali, Op.Cit., hlm. 18
[16]             Harjan Syuhada, Abu Achmadi, Sunarso, Op.Cit., hlm. 41
[17]             Ibid.
[18]             Ibid., hlm. 42
[19]             Fatah Syukur,Op.Cit., hlm. 65
[20]             Ibid., hlm. 67
[21]             Maulana Muhammad Ali, Op.Cit., hlm. 56








[1]               Fatah Syukur. Sejarah Peradaban Islam. (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2002) hlm. 69
[2]               Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989) hlm. 68
[3]           Irfan Haq Dzul Karim. Daulah Bani Abbasiyah. (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2010) hlm. 12-13


[1]               Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 35