Studi Kepemimpinan Umat Islam Pasca
Rasulullah saw wafat
Assalamualaikum redears. Ini adalah postingan pertama saya. Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan. Semoga postingan ini bernanfaat. Isi Makalah ini saya himpun dari berbagai sumber, termasuk blog-blog lainnya yang lupa saya masukkan ke dalam daftar pustaka. Mohon maaf bagi pemilik blog tersebut ^_^
Pendahuluan
Dalam catatan sejarah islam persoalan pertama yang muncul
kepermukaan setelah Nabi Muhammad saw wafat adalah persoalan suksesi. Siapa
yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala pemerintahan. Karena
sejak Rasulullah saw menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah,
tidak pernah sedikitpun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi
penggantinya, apalagi menunjuk penggantinya kelak. Untuk menyelesaikan
kebingungan umat islam digunakanlah prinsip musyawarah yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw.
Pada masa
khulafaurrasyidin ada dua kelompok yang merasa paling berhak untuk dicalonkan
sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW yaitu, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Terdapat perbedaan pendapat antara kaum
Muhajirin dan Anshar, karena kaum Muhajirin mengusulkan Abu Bakar as
Shidiq, sedangkan kaum Anshar mengusulkan Sa’ad bin Ubadah sebagai pengganti
nabi Muhammad SAW. Perbedaan pendapat antara dua kelompok tersebut akhirnya
dapat diselesaikan secara damai setelah Umar bin Khattab mengemukakan
pendapatnya. Selanjutnya, Umar menegaskan bahwa yang paling berhak memegang
pimpinan sepeninggal Rasulullah adalah orang-orang Quraisy. Alasan tersebutpun
dapat diterima oleh kedua belah pihak.[1]
Setelah berakhirnya kekuasaan
khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terakhir pada masa
khulafaurrasyidin, mengakibatkan lahirnya kekuasaan yang berpola Dinasti atau
kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya yang masih menerapkan pola keteladanan
Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa
berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang
sesudahnya.
Bentuk
pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan feudal dan
turun menurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya otoriter, kekuasaan
mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya
keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran
umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaurrasyidin.
Setelah pemerintahan
khulafaurrasyidin berakhir, maka Bani Umayyah muncul yang dibentuk oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan. Bani umayyah diakui secara resmi melanjutkan
khilafah islam setelah berakhirnya
sengketa antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai lambang
penguasa Daulah Umayyah.[1] Dalam
system pemerintahan, Bani Umayyah telah mengubah system suksesi kepemimpinan
dengan jalan musyawarah menjadi monarki atau system kerajaan yang diwariskan
secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muawiyah mengangkat
anaknya sendiri Yazid, sehingga pada umumnya sejarawan memandang negative
terhadap Muawiyah karena pada awal keberhasilan memperoleh legalitas atas
kekuasaannya dalam perang di Shiffin dicapai melalui abitrase.[2]
Setelah pemerintahan Dinasti
Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyyah. Dinasti Abbasiyah
merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat islam. Abbasiyah
dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, berdinya dinasti ini
sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim
setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga
Rasul dan kerabatnya.[3]
Berdasakan dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
sejarah Kepemimpinan Umat Islam Pasca Rasulullah saw wafat.
Pembahasan
I.
Masa Khulafaur Rasyidin
A. Khalifah Abu Bakar
1. Proses Pengangkatan
Setelah Nabi wafat, sejumlah tokoh Muhajirin dan
Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan
siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad ibn Ubadah. Sedangkan kaum
Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang paling
layak untuk menggantikan Nabi. Di pihak lain terdapat kelompok orang yang
menghendaki Ali bin Abi Thalib. Situasi yang kritis ini, pedang hamper saja
terhunus dari sarungnya. Masing-masing golongan berhak menjadi penerus Nabi.
Namun berkat tindakan tegas Umar, Abu Bakar dan Abu Ubaidah ibnu Jarrah memaksa
Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi Muhammad, masing-masing pihak dapat
menerima dan membaiatnya.[1]
2. Pemerintahan
Abu Bakar memimpin
umat islam dengan prinsip demokrasi. Demokrasi merupakan system pemerintahan
yang mengakui hak setiap anggota masyarakatnya. Selain itu, Abu Bakar juga
memerintah dengan tegas dan keras kepada orang-orang murtad dan menyekutukan
Allah serta Rasul-Nya.
Kekuasaan yang
dijalankan pada masa khalifah Abu Bakar bersifat sentral; yaitu kekuasaan
Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif terpusat di tangan khalifah.[2]
Selain menjalankan pemerintahan, khalifah juga menjalankan hokum. Meskipun
demikian, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Adapun urusan pemerintahan
diluar kota madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hokum Negara
Madinah menjadi beberapa propinsi. Ia menugaskan seorang amir atau wali
(semacam gubernur).
Pada masa Abu Bakar
telah terjadi gerakan pemurtadan agama atau yang disebut riddah. Karena
sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan
negara, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan memerangi kaum yang murtad
ini. Perang ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang Riddah (perang
melawan kemurtadan). Khalid bin Walid adalah salah seorang jenderal yang banyak
berjasa dalam Perang Riddah ini.
Gerakan riddah ini
sudah menampakkan benihnya ketika tersiar kabar bahwa Nabi Muhammad sedang
sakit dan muncul ke permukaan dengan jelas setelah Nabi wafat. Gerakan riddah
ini muncul bersamaan dengan kemunculan tiga tokoh yang mendakwakan dirinya
sebagai nabi (nabi palsu). Tiga tokoh yang dikenal sebagai nabi palsu itu
adalah Musailamah al-Kadzdzab (w. 633 M), Thulaihah bin Khuwailid (w.
632 M), dan Aswad al-Insa (w. 632 M).[3]
3. Usaha-usaha yang dilakukan Abu Bakar
Ash-Shidiq
a. Merealisasikan keinginan Nabi yang hampir
tidak terlaksanakan yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Syiria di bawah
pimpinan Usamah.[4]
b. Menumpas orang-orang yang merongrong
agama dan negara Islam. Yaitu, mereka orang-orang yang mengaku sebagai nabi,
orang-orang yang menolak membayar zakat, dan para pembangkang yang hendak
menggulingkan pemerintahan yang sah.
c. Merebut dan menguasai wilayah-wilayah
baru sehingga wilayah kekuasaan Islam menjadi semakin luas. Wilayah yang dapat
dikuasai meliputi Irak, Persia, Syiria (Suriah), dan Yarmuk.
d. Memperkenalkan administrasi pemerintahan
berdasarkan kewilayahan. Ia membagi wilayah kekuasaan Islam dalam beberapa wilayah provinsi. Dalam setiap provinsi ia
mengangkat wali (gubernur) sebagai kepala wilayah. Ia memberikan tugas kepada
para gubernur mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya dan juga
sebagai hakim dan imam shalat.
e. Menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini
dilakukan setelah banyaknya para penghapal Al-Qur’an yang meninggal akibat
perang.
f. Mendirikan baitul mal. Yaitu,
semacam lembaga kas negara yang berfungsi menghimpun dana dari orang-orang
mampu untuk disalurkan kepada fakir miskin.
g. Perang Riddah (perang melawan kemurtadan)[5]
4. Akhir Pemerintahan
Abu Bakar As-Shidiq menjalankan tugasnya sebagi
khalifah selama 2 tahun, 3 bulan, dan 10 hari. Beliau wafat pada tanggal 21
Jumadil Akhir tahun 13 H setelah menderita sakit selama 16 hari. Beliau berusia
63 tahun. Jenazah Abu Bakar dimakamkan di sebelah makam Rasulullah saw.[6]
B. Khalifah Umar bin Khattab
1. Proses Pengangkatan
Ketika khalifah Abu
Bakar sedang sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, beliau secara diam-diam
melakukan tinjauan pendapat terhadap tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat
mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya. Dalam musyawarah itu,
disepakati bahwa orang yang layak menggantikan kedudukan beliau sebagai
khalifah adalah Umar bin Khattab. Hasil musyawarah tersebut kemudian
disampaikan kepada umat Islam, mereka serentak menjawab,“ Sami’ na wa ata’
na”, artinya kami dengar dan kami patuhi. Umar bin Khattab mulai menjadi
khalifah pada hari Selasa tanggal 22 jumad as-Sani 13 H. [7]
2. Pemerintahan
Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab berlangsung
selama sepuluh tahun enam bulan, yaitu dari tahun 13 H/634 M – 23 H/644 M).[8]
Pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, gelombang perluasan daerah kekuasaan
Islam untuk pertama kalinya dilakukan.
Dari sekian banyak penaklukan pada masa Umar bin Khaththab,
penaklukan atas kota Jerussalem adalah yang paling menarik. Penaklukan kota
yang dipandang suci ini tidak dilakukan dengan menumpahkan darah. Uskup Agung
kota Jerussalem lebih suka menyerahkan kota itu dengan cara damai untuk
menghindarkan akibat-akibat perang setelah beberapa lama dikepung oleh pasukan
kaum Muslimin. Uskup Agung akan menyerahkan kota Jerussalem dengan syarat
diadakan gencatan senjata dan kota suci ini hanya akan diserahkan kepada penguasa
tertinggi, yaitu Khalifah Umar bin Khaththab.[9]
3. Usaha-usaha
yang dilakukan Umar bin Khattab
a. Memperbaiki kinerja baitul mal
b. Menetapkan kalender Islam
c. Mengeluarkan ijtihad agar shalat tarawih
dilakukan secara berjamaah
d. Membagi wilayah Islam yang luas menjadi tujuh
provinsi, yaitu Mekkah, Madinah, Suriah, Jazirah, Basrah, Kufah, dan Palestina.
Setiap provinsi dikepalai seorang gubernur. Semua gubernur bertanggung jawab
terhadap khalifah.
e. Membangun masjid-masjid besar,
diantaranya Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah, Masjid al-Aqsa
di Palestina, dan Masjid Amru bin As di Mesir.
f. Menambahkan kalimat as-salatu khairun
minan-naum (shalat lebih baik daripada tidur) dalam azan Subuh.[10]
4. Akhir Pemerintahan
Umar memerintah selama
sepuluh tahun. Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Umar dibunuh oleh
seorang budak Persia yang bernama Abu Lu’luah. Untuk menentukan penggantinya,
Umar tidak menempuh cara yang dilakukan Abu Bakar. Ia menunjuk enam orang
sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya
untuk menggantikan dirinya sebagai khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad
bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin Auf.[11]
C. Khalifah Utsman bin Affan
1. Proses Pengangkatan
Usman bin Affan menggantikan posisi Umar bin Khaththab sebagai
khalifah ketiga setelah sebelumnya dilakukan musyawarah oleh dewan
syura yang terdiri dari enam orang sahabat yang ditunjuk oleh Umar.
Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin Auf.
Dikatakan bahwa ketika musyawarah itu berlangsung, Abdurrahman bin Auf
mengajukan saran yang berbunyi: “Siapa di antara kita yang rela
mengundurkan diri dari pencalonan?”. Dia sendiri
menyatakan pengunduran dirinya. Sikapnya itu diikuti oleh tiga orang lainya,
yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqas. Dengan
demikian tinggal ada dua calon saja untuk posisi khalifah, yaitu Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah mencatat bahwa tiga tokoh lainnya beserta kedua calon
itu sama-sama rela menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk menetapkan pilihan
terakhir dan memberinya kesempatan untuk mempertimbangkan sebaik-baiknya.
Abdurrahman bin Auf kemudian melakukan kontak pribadi dengan para tokoh
Madinah. Setelah melakukan kontak pribadi dengan banyak tokoh, akhirnya
pilihannya jatuh kepada Usman bin Affan. Keputusan itu menuai kritik dari pihak
Ali, karena Abdurrahman bin Auf adalah ipar dari Ustman bin Affan. Keduanya
sama-sama dari keluarga Umayyah, sedangkan Ali bin Abi Thalib dari keluarga
Hasyim. Tetapi Abdurrahman berdalih bahwa keputusannya berdasarkan suara
terbanyak dari penduduk Madinah dan bukan karena yang lain. Ali bin Abi Thalib
akhirnya ikut melakukan bai’at terhadap Khalifah Usman bin Affan.[12]
2. Pemerintahan
Utsman bin Affan
dikenal sebagai pemimpin yang dermawan. Ia sering memerdekakan budak yang
teraniaya dari orang kafir Quraisy. Utsman pun sering memberikan hartanya bagi
fakir miskin.
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung selama dua belas
tahun.. Pada masa awal kekuasaannya, pemerintahannya berjalan lancar, tak ada
kekhawatiran yang mengancamnya. Pada paruh terakhir atau enam tahun kedua dari
masa kekhalifahannya mulai muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan
umat Islam terhadap dirinya.[13]
Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan pendahulunya.
Khalifah Umar bin Khaththab lebih memperlihatkan kehidupan yang sederhana.
Tetapi pada masa Khalifah Usman bin Affan, kehidupan yang beraroma kemewahan
dan kesenangan lebih nampak. Ini mungkin disebabkan karena faktor kehidupan
Usman yang sejak awal memang termasuk orang kaya. Usman pernah berkata: “Saya
sungguh tidak makan dari harta kaum Muslimin, saya makan dari harta saya
sendiri. Anda tahu, di kalangan Quraisy sayalah yang terkaya dan yang paling
beruntung dalam perdagangan”. Salah satu faktor yang menyebabkan
kekecewaan sebagian umat Islam
pada paruh kedua dari kepemimpinannya adalah kebijaksanaannya yang
bercorak nepotisme.[14]
Kekecewaan terhadap pemerintahan Usman bin Affan memuncak
dengan adanya gelombang protes dari beberapa wilayah yang menuju Madinah.
Gelombang protes yang datang dari Mesir berjumlah 500 orang, dipimpin oleh
al-Ghafiqi bin Harrab al-Akiki. Tujuan mereka adalah untuk meminta khalifah
meletakkan jabatan. Gerakan yang sama datang dari Kufah, dengan jumlah 500
orang, di bawah pimpinan Abdullah bin Asham al-Amiri. Pada saat yang sama
berangkat pula rombongan dari Basrah, berjumlah 500 orang, di bawah pimpinan Hurkush
bin Zuhair al-Saadi.[15]
3. Usaha-usaha yang dilakukan Utsman bin
Affan
a. Memperluas dan memperindah Masjidil Haram
(Mekah) dan masjid Nabawi (Madinah).
b. Membangun gedung-gedung pengadilan untuk
mengadili perkara-perkara pidana dan perdata yang pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab dilakukan di masjid-masjid.
c. Membentuk angkatan laut yang tangguh
untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam.
d. Melakukan pembukuan mushaf Al-Qur’an
dalam satu buku. Zaid bin Sabit yang sejak zaman Abu Bakar telah diserahi tugas
mengumpulkan ayat dan surat Al-Qur’an yang tercecer lalu diberi tugas khusus
untuk menyusunnya menjadi satu buku dengan sistematika sebagaimana arahan
Rasulullah. Utsman lalu menyalin mushaf tersebut ke dalam lima jilid. Utsman
mengirim kelima jilid mushaf itu masing-masing ke Mekah, Suriah, Basra, Kufah,
dan Madinah. [16]
4. Akhir Pemerintahan
Pada masa menjelang
akhir pemerintahan, penasihat Khalifah Utsman yang bernama Marwan bersikap
licik dengan menghasut umat Islam. Dengan demikian, timbul pemberontakan yang
dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Huzaifah dengan 600 orang
pengikut dari mesir.
Pemberontakan itu
terjadi dengan maksud agar Gubernur Mesir digantikan oleh Muhammad bin Abu
Bakar. Hal itu disetujui oleh khalifah. Marwan kemudian membuat surat dengan
stempel resmi yang meminta Abdullah agar membunuh Muhammad dan anak buahnya.
Surat tersebut jatuh
ke tangan pemberontak dan mereka menghadap khalifah meminta agar Marwan
diserahkan. Permintaaan itu tidak disetujui oleh khalifah. Dengan diam-diam
khalifah meminta bantuan Muawiyah (Gubernur Irak) untuk menumpas para
pemberontak. Namun, hal itu diketahui oleh parah pemberontak. Pemberontak marah
kepada khalifah. Akhirnya, khalifah Utsman yang sudah tua dikepung oleh kaum
pemberontak. Pengepungan dimulai dari bulan Ramadan hingga bulan Zulhijjah,
kurang lebih 40 hari. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid ketika para
pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat beliau sedang
membaca Al-Qur’an. Utsman wafat pada tahun 35 H saat usia beliau 81 tahun.[17]
D. Khalifah Ali bin Abi Thalib
1. Proses Pengangkatan
Setelah khalifah
Utsman terbunuh di tangan kaum pemberontak, masyarakat muslim pada saat itu
berpendapat bahwa yang paling pantas menduduki kursi khalifah adalah Ali bin
Abi Thalib. Pendapat itu didukung oleh masyarakat banyak, walaupun ada dari
sebagian kecil yang menentangnya, terutama keluarga Umayyah yang ingin menuntut
balas atas kematian Utsman.
Berbeda dengan
ketiga khalifah sebelumnya, Ali diminta menduduki kursi khalifah oleh rakyat
banyak dan dipelopori oleh kaum yang memberontak Utsman. Atas desakan
masyarakat banyak, Ali bersedia diangkat menjadi khalifah keempat.[18]
2. Pemerintahan
Saat diangkat
menjadi khalifah menggantikan Utsman, Ali membuat beberapa kebijakan yang
kontroversi. Misalnya, ia memecat pejabat yang diangkat oleh Utsman, mengambil
kembali tanah yang diberikan Utsman kepada kerabat-kerabatnya, meninggalkan
kota Madinah, dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan.
Ali bin Abi Thalib
juga sering bertugas sebagai hakim (qadi) atau mufti yang tegas. Tugas ini ia
kerjakan jauh sebelum ia menjadi khalifah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan Ali
selalu dihargai oleh kaum muslimin. Dalam kehidupan sehari-harinya, Ali selalu
membiasakan hidup sederhana meskipun ia seorang khalifah.[19]
3. Usaha-usaha yang dilakukan Ali bin Abi
Thalib
a. Mengirim Abul Aswad Ad-Dauly untuk
mengajarkan bahasa Arab.
b. Membangun kota Kufah yang merupakan pusat
perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
c. Berhasil mengembangkan wilayah Islam
sampai ke Jazirah Arab
d. Agar pemerintahan efektif dan efisian
dengan mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja
e. Menyita harta para pejabat yang diperoleh
secara tidak benar, yang kemudian disimpan di baitul mal dan digunakan
untuk kesejahteraan rakyat
f. Mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu agar
dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari Al-Qur’an dan Hadis
g. Memberi kaum muslimin tunjangan dari baitul
mal secara adil
h. Mengatur system pemerintahan dengan menekankan
kepentingan umat
i. Menekankan persamaan hak antarsesama
umat.[20]
4. Akhir Pemerintahan
Ketika Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah, muncul kaum Khawarij. Mereka mengadakan musyawarah
untuk memberontak terhadap pemerintahan Ali. Golongan itu pula yang berusaha
membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Menurut golongan Khawarij, ketiga
orang itulah yang membuat Islam tidak tenteram.
Akhirnya, pada
tanggal 19 Ramadan tahun 40 H, Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam ketika
hendak melakukan shalat Subuh di masjid Kufah. Sedangkan Muawiyah gagal dibunuh
oleh Al-Barak dan Amr bin Ash gagal dibunuh oleh Umar bin Bakir. Ali memerintah kurang lebih selama 5 tahun.[21]
Seperti yang kita lihat dari beberapa periode
pemerintahan masa Khulafaurrasyidin tersebut, ada beberapa hal yang dicapai
Islam antara lain:
(1) Ekspansi atau perluasan wilayah yang
meliputi Irak, Suriah, Damaskus, Bizantium, Mesir, Persia, dan Palestina.
(2) Meredam berbagai pemberontakan dari
orang-orang murtad.
(3) Pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an.
(4) Penentuan kalender Islam
(5)
Penetapan administrasi dalam pemerintahan
I.
Masa Bani Umayyah
Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
kekhalifahan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Bani Umayyah
berkuasa dalam dua periode, yaitu di Suriah (661-750) dan di Spanyol
(756-1031).[1]
Berdirinya kekhalifahan Umayyah juga mengubah
system pemerintahan dalam islam. Yang tadinya bersifat demokratis menjadi
system pemerintahan yang bersifat monarki. Jika ditinjau dari segi sejarah,
Bani Umayyah merupakan salah satu suku Quraisy yang pada awalnya menentang
kedatangan Islam.
Pusat kekuasaan Bani Umayyah pada awal
berdirinya adalah di Suriah dengan ibukota Damaskus. Pendirian pusat kekuasaan
di Suriah dilatarbelakangi saat Yazid bin Abu Sufyan dan Muawiyah diangkat oleh
Khalifah Ustman bin Affan menjadi gubernur di Suriah.
Para khalifah besar dari dinasti bani Umayyah
adalah Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik Ibn Marwan (685-705
M), al-Walid Ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar Ibn al-Aziz (717-720 M), dan
Hisyam Ibn Abd al-Malik (724-743).[2]
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan
wilayah yang terhenti pada masa khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian
ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai
Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. [3]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran
dilanjutkan di zaman Al- Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan ini adalah
masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya tercatat
suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua
Eropa.
Selain wilayah kekuasaan yang sangat luas, di
masa Dinasti Umayyah ini kebudayaan juga mengalami perkembangan, antara lain
seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dll. Dalam bidang
ilmu pengetahuan, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama
saja, tetapi ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, filsafat,
astronomi, geografi, sejarah, bahasa dan lainnya. [4]
Dinasti Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan berbagai bidang, Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tentu yang menyediakan kuda lengkap dengan peralatannya di sepanjang
jalan. Spesialisasi jabatan Qadhi atau hakim yang berkembang menjadi profesi
tersendiri.
Abdul Malik bin Marwan mengubah mata uang
Byzantium dan Persia dengan mencetak uang tersendiri yang memakai kata-kata dan
tulisan Arab, kemudian melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagi bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik banyak membangun
panti-panti untuk orang cacat, jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan
dan masjid-masjid megah.[5]
Keruntuhan dinasti Umayyah dimulai dengan
diperkenalkannya kekuasaan yang bersifat monarki oleh Muawiyah. Dimana ketika
dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu
Yazid bin Muawiyah. Kemudian, Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati
isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan
bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat
Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin
Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
oposisi di kalangan rakyat. Kemudian sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik,
khalifah-khalifah Bani Umayyah tidak hanya lemah tetapi juga bermoral buruk.
Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah
Bani Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim
Al-Khurasani. Marwan bin Muhammad khalifah terakhir Bani Umayyah melarikan diri
ke Mesir, kemudian ditangkap dan dibunuh disana.[6]
Dari beberapa periode jabatan pada masa Bani
Umayyah ada beberapa hal yang telah mengalami kemajuan, antara lain:
(1) Ekspansi atau perluasan wilayah kembali
dilakukan hingga ke benua Eropa.
(2) Kemajuan dalam bidang administrasi dan
bahasa.
(3) Kemajuan dalam bidang ilmu agama islam.
(4) Kemajuan dalam bidang administrasi
keuangan.
(5) Kemajuan dalam bidang kebudayaan dan
peradaban Islam.
II.
Masa Bani Abbasiyah
Kekuasaan Bani
Abbasiyah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang mulai dari tahun
132 H sampai 656 H (750 M- 1258 M) dengan dibagi menjadi 5 periode.[7]
Pada periode pemerintahan dibawah Abu al-Abbas mencapai
masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Masa
pemerintahan Abu Al- Abbas hanya sebentar yaitu dari tahun 132 H- 136 H.[8]
Selanjutnya
pemerintahan digantikan oleh Abu Ja’far al-Mansyur yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah. Pada mulanya
ibukota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur
memindahkan ibukota negara ke kota Baghdad yang berdekatan dengan bekas ibukota
Persia, Ctesiphon. Dengan demikian maka pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah
berada di tengah-tengah bangsa Persia. Pada masa al-Manshur ini, pengertian
khalifah kembali berubah. Konsep khilafah menurut pandangannya yang kemudian
berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandate dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi. [9]
Selanjutnya pada
masa al-Mahdi. Pada masa ini perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di
sector pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti,
emas, tembaga, dan besi. [10]
Popularitas daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Harun Ar-Rasyid Rahimahullah dan
puteranya al-Ma’mun. Kekayaan negara banyak dimanfaatkan untuk keperluan
sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi.
Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Selanjutnya
Al-Ma’mun, sebagai pengganti dari Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing dilakukan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada
masa ini juga, Baghdad pun mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya
pemerintahan Al-Mu’tasim. Pada masa ini praktek orang-orang muslim mengikuti
perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit
professional. Dengan begitu, kekuatan militer pun menjadi sangat kuat. Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, namun semuanya dapat dipadamkan. [11]
Setelah berkembang
hamper tiga abad, akhirnya Bani Abbasiyah mengalami kehancuran. Puncak
kehancuran Bani Abbasiyah adalah akibat serangan tentara Mongol yang dipimpin
oleh Hulagu Khan pada tahun 1258. Tentera tersebut menghancurkan Baghdad dan
tidak menyisakan sedikit pun dari pengetahuan yang tersimpan di baitul hikmah.
Kehancuran Bani Abbasiyah, juga disebabkan karena turunnya kewibawaan para
khalifah akibat luasnya wilayah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi
berjalan lambat. Kehancuran tersebut juga disebabkan kemunduran perekonomian
akibat kemunduran politik sehingga terjadi juga Perang Salib yang menyebabkan kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat tinggi, serta munculnya
pemberontakan-pemberontakan yang tidak dapat diredam. [12]
Dari beberapa hal
yang dapat kita lihat bahwasannya terdapat beberapa kemajuan dalam berbagai
bidang juga pada masa Dinasti Abbasiyah, yaitu diantanya :
(1) Kemajuan dalam bidang administrasi
pemerintahan
(2) Kemajuan dalam bidang ekonomi
(3) Kemajuan dalam bidang kesehatan
(4) Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
(5) Kemajuan dalam bidang pendidikan
(6) Kemajuan dalam bidang peradaban dan kebudayaan
Penutup
Kesimpulan
Masa setelah nabi Muhammad saw diantaranya, Khulafaurrasyidin,
Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah. 4 khalifah pada masa Khulafaurrasyidin,
yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Setiap masa Islam terus mengalami kemajuan dalam bidang-bidang tertentu. Ekspansi wilayah terus terjadi di setiap masa
pemerintahan, baik masa Khalifah, Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah.
Kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, kesehatan, kesusastraan,
perekonomian, dan pendidikan terus berkembang dan mencapai puncaknya pada masa
Bani Abbasiyah.
Daftar Pustaka
Yatim, Badri. 2006. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Fatah. 2002.
Sejarah Peradaban Islam. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.
Ibrahim, Hassan.
1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang.
Karim, Irfan Haq
Dzul. 2010. Daulah Bani Abbasiyah. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Ali, Maulana
Muhammad. 2007. Early Caliphat. Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah.
Syuhada, Harjan, Abi
Achmadi, Sunarso. 2010. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah. Jakarta
: Bumi Aksara.
Marzuki. 2009. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Amin, Samsul Munir.
2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah.
Hasymy, A. 1975. Sejarah
Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Sunanto, Musyrifah.
2010. Sejarah Islam Klasik. Jakarta : Prenada Media.
Souyb, Jousouf.
1977. Sejarah Umayyah. Jakarta : Bulan Bintang.
[1]
A. Hasymy. Sejarah
Kebudayaan Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) hlm. 145
[2] Musyrifah Sunanto. Sejarah
Islam Klasik. (Jakarta : Prenada Media, 2010) hlm. 44
[3]
A. Hasymy, Op.Cit.,
hlm 147
[4]
Musyrifah Sunanto,Op.Cit.,
hlm. 50
[5] Jousouf Souyb. Sejarah Umayyah
(Jakarta : Bulan Bintang, 1977) hlm. 36
[6]
Jousouf Souyb,Op.Cit.,
hlm. 171
[7] Samsul Munir Amin,Op.Cit., hlm.
200
[8]
Ibid., hlm. 205
[9]
Ibid., hlm. 209
[10]
ibid., hlm. 216
[11]
Ibid., hlm. 220-245
[12]
Harjan Syuhada, Abu Achmadi,
Sunarso, Op.Cit., hlm. 53
[1]
Maulana Muhammad Ali. Early
Caliphat. (Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007) hlm. 12-13.
[2]
Harjan Syuhada, Abu Achmadi,
Sunarso. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah. (Jakarta : Bumi
Aksara, 2010) hlm. 35-36.
[3]
Marzuki. Sejarah
Peradaban Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2009) hlm. 133
[4] Samsul Munir Amin. Sejarah
Peradaban Islam. (Jakarta : Amzah, 2010) hlm. 98
[5] Harjan Syuhada, Abu Achmadi,
Sunarso, Loc.Cit.
[6]
Ibid.,hlm. 37
[7]
Ibid.,
[8]
Marzuki, Op.Cit.,
hlm. 135
[9]
Ibid., hlm. 136
[10]
Harjan Syuhada, Abu Achmadi,
Sunarso, Op.Cit., hlm. 38
[11]
Ibid., hlm. 39
[12]
Marzuki, Op.Cit., hlm.
138
[13]
Ibid., hlm. 139
[14]
Harjan Syuhada, Abu Achmadi,
Sunarso, Op.Cit., hlm. 40
[15]
Maulana Muhammad Ali, Op.Cit.,
hlm. 18
[16]
Harjan Syuhada, Abu Achmadi,
Sunarso, Op.Cit., hlm. 41
[17]
Ibid.
[18]
Ibid., hlm. 42
[20]
Ibid., hlm. 67
[21]
Maulana Muhammad Ali, Op.Cit.,
hlm. 56